Senin, 16 November 2015

Sinar Bulan Pertama



SINAR BULAN PERTAMA

Oleh : Eka Putri Mayangsari

ↄↄↄ

Malam terasa begitu dingin tanpa ada penerangan dari lampu disekitar sini, tempat ini adalah sebuah lorong yang kanan dan kirinya terbentang tembok yang sangat tinggi hingga cahaya rembulan pun tidak bisa mencapai dasar dari lorong ini. Kuerat kan lagi jaket tipis yang membalut tubuhku, pikiran aneh terus saja melintasi pikiranku sedari tadi. Seorang wanita berjalan dikegelapan malam, sendirian. Itulah aku, aku sudah sebisa mungkin untuk berjalan secepat yang kubisa, namun apa daya tempat yang kulalui ini sangat gelap hingga aku harus berjalan dengan memperhatikan langkahku dan tetap berhati-hati.

Tempat ini sangat menyeramkan, sangat ditakuti. Kudengar tempat ini adalah sebuah tempat berkumpulnya para gangster yang akan berkelahi. Tentu saja tempat ini sangat gelap dan jauh dari keramaian publik. Kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa berjalan ditempat ini, ditengah malam dan sendirian, kan? Aku baru saja pulang dari les, biasanya aku pulang lebih awal bersama temanku namun bus yang kutunggu datang terlambat dan temanku tadi tidak berangkat les, yah jadi beginilah aku berjalan sendirian, mengawasi sekeliling dengan mata jelalatan.

Suara orang menjerit terdengar sangat keras, aku bisa mendengarnya dengan jelas. Oh Tuhan, apakah gangster itu tengah bertarung atau bagaimana? Tanpa pikir panjang aku langsung lari dengan cepat. Jalanku terhalangi karena ada sebuah tubuh tergeletak melintang memenuhi jalan yang akan kulalui. Aku mendadak berhenti. Apakah dia manusia? Tentu saja. Pertanyaannya adalah: dia masih hidup atau tidak? Saat aku ingin membungkuk untuk melihatnya, lelaki itu bergerak sedikit. Aku menghela nafas tanpa sadar, bersyukur bahwa dia masih hidup.

“Apakah kau tak apa-apa?” Tanyaku dengan pelan. Saat aku membalikkan tubuhnya untuk menghadapku, aku menjerit dengan kaget.

Seluruh wajahnya lebam, bahkan sudut mulut dan sudut mata kanannya mengeluarkan darah. Dia habis dikeroyok.

“Ya, aku baik.” Orang itu berbicara sambil menahan sakit. Bagaimana dia bisa baik. Meskipun aku tak tahu rasanya seperti apa, namun semua orang juga tahu kalau dipukuli itu akan sakit.

“Nampaknya kau tidak baik. Apa kau bisa berdiri?” aku berdiri duluan, lalu mengulurkan tanganku untuk membantunya berdiri. Dia berdiri dengan tertatih.

Sebuah suara menggema keseluruh sudut lorong, meneriakkan sebuah nama. Aku bergidik ngeri. Takut jika para gangster itu melihatku dan aku akan dipukuli atau dibagaimanakan. Pikiran itu tiba-tiba melintas tanpa dikomando. Spontan aku menggeleng-gelengkan kepalaku.

“Sialan.” Orang itu mengumpat pelan, lalu menarikku kesudut gelap yang terhalang tembok yang cukup tinggi.

“Eh-eh. Aku mau dibawa kemana?” tanyaku dengan keras, mau diapakan aku? Tolong!

“Shhht, jangan berisik. Atau kau akan dipukuli bersamaku hingga mati ditempat ini.”
Apa di baru saja mengancamku?

Aku langsung membisu, teriakan itu kembali menggema tanpa sadar aku mencengkram lengan laki-laki yang tak kukenali itu.

“Hei Ebid, jangan kau jadi pengecut. Keluarlah! Jika kau akan keluar dari geng. Kau harus mati dulu!”

Berkali-kali lontaran itu menggema, aku hanya diam dengan tidak menarik nafas. Takut? Ya memang aku takut. Siapa yang tidak takut jika dirinya terbunuh. Tempat ini menjadi hening dan sunyi. Aku bisa berafas dengan tenang sekarang. Ketika kutengok laki-laki ini, aku langsung merasa kasihan. Dia menyeka sudut bibirnya dengan keras membuatnya meringis menahan sakit yang dia timbulkan sendiri.

“Mereka sudah pergi?” tanyaku sambil melepaskan cegkraman tanganku di lengannya. Dia hanya mengangguk.

“Kau bisa pulang sekarang.” Ucapnya dengan tenang.

“Lalu, bagaimana dengan dirimu? Kau bisa berjalan?” aku menatapnya, tak yakin apa dia bisa berjalan.

“Aku bisa, pulanglah dengan cepat. Tempat ini tak aman untuk orang sepertimu.” Dia pergi meninggalkanku. Jalannya tertatih, aku tidak tega melihatnya.

Bagaimana jika gangster itu datang dan memukulinya hingga mati? Kumohon jangan sampai. Jadi, kuputuskan untuk menguntitnya dari belakang.

ↄↄↄ

Dia pergi kedaerah yang belum kukenali, dan dia berjalan dengan memegangi perut bagian kanannya. Dihadapan laki-laki itu ada sebuah tangga, dia dengan pelan menaiki satu demi satu anak tangga tersebut hingga dia terjatuh. Sontak aku langsung berlari mendekati dia.

“Kenapa kau kemari? Kau habis menguntitku?” tanyanya dengan nada mencemooh. Aku merangkulnya berdiri dan pelan-pelan berjalan menaiki anak tangga satu demi satu.

“Ya… aku sangat tidak tenang dengan kondisi memprihatinkanmu ini.” ucapku masih fokus dengan merangkulnya. “Rumahmu sebelah mana?” tanyaku ketika sudah selesai menaiki tangga itu.

Dia memberi tahu-ku arah rumahnya. Ketika sampai, aku membukakan pintu dan membawanya ketempat tidurnya. Dia sangat menyedihkan. Ketika aku melihat kotak P3-nya kotak itu hanya berisi betadine dan kapas membuatku mengerutkan kening. Apa dia tinggal dirumah ini sendirian? Jadi aku mebawakannya sebaskom air es dan handuk kecil yang kutemukan dekat kotak P3-nya.

“Kau mau apa?” tanyanya sambil menatapku.

“Aku hanya ingin merawat lukamu. Sini, kau sangat menyedihkan sekali.”

ↄↄↄ

“Namaku Keyna. Kenapa sih kau sampai dipukuli seperti itu? Kau masuk di jaringan narkoba ya?” aku menjawab ketika ia habis berterima kasih dan bertanya siapa namaku.

“Enak saja. Kenapa kau menuduhku ikut jaringan narkoba. Kenal saja tidak.” Ucapnya sambil lalu. Membuatku mengerucutkan bibirku kedepan.

“Aku tahu, namamu Ebid kan. Dan tadi kau ingin keluar dari gangster?” tanyaku sambil melihat-lihat sekeliling kamar tidurnya. Dia masih terbaring dan aku baru saja selesai mengobati lukanya. Jadi, aku duduk di sofa yang ada dikamar itu.

“Ya namaku Ebid. Kau tahu Geng yang paling terkenal di kota ini yang suka merusak fasilitas publik tanpa segan untuk memukuli seseorang hingga sekarat?” Orang yang bernama Ebid itu bercerita tapi aku langsung tahu yang dimaksud Ebid tentang geng itu. Yang baru saja muncul di berita nasional karena memukuli beberapa orang dari kelompok geng lain hingga sekarat.

“Oh ya. Aku tahu. Kau mau keluar dari geng itu? Kenapa?” aku ingin tahu. Ya memang sifatku seperti itu.

“Aku sudah muak dengan perilaku teman-temanku itu. Mereka sudah tidak sejalan lagi denganku. Sesederhana itu aku ingin keluar. Tapi jika sudah masuk ke geng itu dan ketika kau ingin keluar, kau harus mati dulu. Itu paraturannya, sedari dulu.” Ebid menjelaskan. 

Aku hanya bisa begidik ngeri. Beratapa bobroknya mental para anak muda jaman sekarang. Mereka sama sekali tidak merasa kasihan dengan nyawa, apa mereka tidak punya hati? Kenapa mereka harus kehilangan nyawanya? 

“Tindakanmu benar jika kau ingin keluar dari geng itu.” Ucapku tanpa berpikir, memang benar kan?

“Ya, tapi sekarang nyawaku jadi taruhannya.” Ucap Ebid dengan tertawa sumbang, dia tersenyum menatapku. “Kau tahu, nyawamu dalam bahaya jika kau didekatku sekarang.”

Brakk.

Terdegar suara seperti pintu didobrak. Ebid langsung bangkit dari posisi tidurnya. Apa maksud perkataan Ebid tadi? Nyawaku dalam bahaya? Apakah ini yang dimaksud Ebid? Gangster itu berada dirumahnya sekarang. Apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Ayo lewat sini.” Ebid membawaku keluar dari pintu belakang rumahnya. Disekeliling rumahnya banyak anggota gangster. Ebid menyeretku pergi sejauh mungkin dari rumahnya. Aku melihat seseorang anggota geng menatapku dengan tatapan membenci, aku hanya bisa tertunduk dan terus berlari mengikuti Ebid.

“Kuharap tak ada satupun dari orang itu melihat kita. Oh ya rumahmu dimana?” Tanyanya setelah berhenti berlari, aku menunjukkan arah rumahku.

Ebid mengatarku sampai depan rumah, dia langsung pergi sambil mengenakan topi jaketnya dan menghilang ditengah gelapnya malam. Dia tidak berucap apa-apa, membuatku bertanya-tanya dia akan kemana lagi setelah rumahnya didobrak oleh kawanan gangster itu.

Sudah hampir jam dua malam dan sekitar satu jam yang lalu Ebid mengantarku pulang, tetapi pikiranku masih saja tertuju pada Ebid. Bagaimana nasibnya? Aku takut dia kembali untuk menjadi anggota geng itu.

Terdengar suara ketukan pintu, apakah itu Ebid? Sepertinya iya. Siapa lagi yang berani mengetuk pintu rumahku ditengah malam seperti ini? aku bangkit dan berjalan untuk membukakan pintu.

Aku mematung didepan pintu, segerombolan anak muda berjumlah lima orang ada didepan pintu rumahku sekarang. Mereka bertampang lebam, aku langsung diseret keluar dari rumahku. Mulut dan hidungku ditutupi oleh tisu, ketika aku memberontak, tubuhku menjadi lemas dan semua menjadi gelap dalam sekejap mata.

ↄↄↄ

Deruan motor menyeretku dari kegelapan,ketika aku membuka mata. Aku dibaringkan ditengah-tengah segerombolan anak-anak muda yang sangat menyeramkan. Setiap orang dari mereka membawa tongkat pemukul dan tongkat kayu. Untuk apa?

Ada yang mendekatiku, aku spontan menutup mataku kembali seperti orang pinsan. Dia menggengam tanganku, aku masih tetap diam. Tapi saat ia menyentakkan tanganku keatas aku membuka mata lebar karena itu sangat menyakitkan bagiku.

“Ternyata kau sudah bangun, gadis kecil?” ucap pria itu dengan menyunggingkan senyumnya. Aku hanya dapat menundukkan kepalaku, aku terlalu takut untuk melihat sekeliling.

“Pangeranmu itu akan segera datang menjemputmu. Jika dia menjemputmu disini, nyawaya akan mati juga. Hahaha.” Pria bertopeng disebelahku tertawa lebar diikuti oleh anak buahnya.

Tunggu, Pangeran? Nyawa? Hilang? Apakah yang dimaksud dia Ebid? Jangan biarkan dia kesini, Tuhan. Kumohon.

Tak lama kemudian Ebid datang seorang diri, aku memberontak ketika melihatnya. Tapi cengkraman ditanganku juga menjadi sangat kuat hingga aku ingin menangis karena sangat sakit. Tanpa aba-aba lima orang anak buah geng itu langsung menyerang Ebid, tapi Ebid menghalaunya dengan cepat sehingga tiga anak jatuh tersungkur dilantai yang kotor.

“Lepaskan Keyna..! dia tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini.” Ebid berteriak ketika dua orang lagi jatuh ke lantai.

Pria bertopeng disebelahku hanya tertawa pelan, “Akan kulepaskan dia, setelah kau mati ditempat ini.”

Aku begidik ngeri. Melihat enam orang lagi mendekati Ebid membuatku was-was. Tapi masih saja pria itu dapat menahan serangan dari anggota gangster ini. Ebid mendekatiku, seketika itulah segerombolan pria datang. Tunggu, sepertinya aku mengenal salah satu dari mereka.

Findo, Ya Tuhan anak ini, mengapa dia harus ikut? Ketika mereka mendekat, mereka langsung saja menyebar dan memukuli anggota gangster. Aku terpaku pada Ebid, dia mendekatiku dan ingin memukul pria bertopeng disebelahku.

Tapi tanpa diduga, salah satu anggota gangster itu memukul leher bagian belakang Ebid menggunakan tongkat bisbol. Aku menjerit keras, melihat Ebid langsung jatuh di lantai. Cengkraman pria bertopeng itu langsung lepas di lenganku, membuat aku langsung duduk dihadapan Ebid dan menopang kepalanya di pahaku.

“Tidaak! Kumohon sadarlah. Bangun!” Ucapku berulang kali seperti mantera penyelamat. Namun pria itu tetap saja diam. 

“Ayo, Keyna. Kita harus pergi.” Findo datang kepadaku dengan cepat. Dia langsung mengambil dan menggengam tanganku yang penuh darah Ebid.

“Lalu, Bagaimana dengan Ebid? Dia bisa mati disini.” Ucapku dengan masih menangis.

“Yang terpenting kau harus keluar dari tempat ini dulu Keyna. Ebid akan dibantu oleh teman-temanku dengan segera. Ayo, keluar dari tempat ini!” Findo menyeretku dari tempat itu, aku ingin memberontak. Tapi apa daya aku sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk melawan.

ↄↄↄ

Aku bisa saja berdiri ditempat ini lebih lama, atau paling tidak membawa Iqbaal keluar bersamaku. Tapi apa daya Aldi membawaku lari bersamanya, menjauh dari tempat itu sejauh yang kita bisa, atau bisa jadi aku dan Aldi akan mati ditempat itu. Aku tidak tahu apakah Iqbaal masih bisa selamat atau dia mati dengan mengenaskan ditempat kotor berdebu itu.

TAMAT
Wehehe Gaje? maafin ya..
Oia kalo mau kenal dekat bisa 
Add FB : Eka Putri
 Follow Twitter : @Ekapm_12
Email : ekaputri1204@gmail.com