SINAR
BULAN PERTAMA
Oleh
: Eka Putri Mayangsari
ↄↄↄ
Malam terasa begitu
dingin tanpa ada penerangan dari lampu disekitar sini, tempat ini adalah sebuah
lorong yang kanan dan kirinya terbentang tembok yang sangat tinggi hingga
cahaya rembulan pun tidak bisa mencapai dasar dari lorong ini. Kuerat kan lagi
jaket tipis yang membalut tubuhku, pikiran aneh terus saja melintasi pikiranku
sedari tadi. Seorang wanita berjalan dikegelapan malam, sendirian. Itulah aku,
aku sudah sebisa mungkin untuk berjalan secepat yang kubisa, namun apa daya
tempat yang kulalui ini sangat gelap hingga aku harus berjalan dengan
memperhatikan langkahku dan tetap berhati-hati.
Tempat ini sangat
menyeramkan, sangat ditakuti. Kudengar tempat ini adalah sebuah tempat
berkumpulnya para gangster yang akan berkelahi. Tentu saja tempat ini sangat
gelap dan jauh dari keramaian publik. Kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku
bisa berjalan ditempat ini, ditengah malam dan sendirian, kan? Aku baru saja
pulang dari les, biasanya aku pulang lebih awal bersama temanku namun bus yang
kutunggu datang terlambat dan temanku tadi tidak berangkat les, yah jadi
beginilah aku berjalan sendirian, mengawasi sekeliling dengan mata jelalatan.
Suara orang menjerit
terdengar sangat keras, aku bisa mendengarnya dengan jelas. Oh Tuhan, apakah
gangster itu tengah bertarung atau bagaimana? Tanpa pikir panjang aku langsung
lari dengan cepat. Jalanku terhalangi karena ada sebuah tubuh tergeletak
melintang memenuhi jalan yang akan kulalui. Aku mendadak berhenti. Apakah dia
manusia? Tentu saja. Pertanyaannya adalah: dia masih hidup atau tidak? Saat aku
ingin membungkuk untuk melihatnya, lelaki itu bergerak sedikit. Aku menghela
nafas tanpa sadar, bersyukur bahwa dia masih hidup.
“Apakah kau tak
apa-apa?” Tanyaku dengan pelan. Saat aku membalikkan tubuhnya untuk
menghadapku, aku menjerit dengan kaget.
Seluruh wajahnya lebam,
bahkan sudut mulut dan sudut mata kanannya mengeluarkan darah. Dia habis
dikeroyok.
“Ya, aku baik.” Orang
itu berbicara sambil menahan sakit. Bagaimana dia bisa baik. Meskipun aku tak
tahu rasanya seperti apa, namun semua orang juga tahu kalau dipukuli itu akan
sakit.
“Nampaknya kau tidak
baik. Apa kau bisa berdiri?” aku berdiri duluan, lalu mengulurkan tanganku
untuk membantunya berdiri. Dia berdiri dengan tertatih.
Sebuah suara menggema
keseluruh sudut lorong, meneriakkan sebuah nama. Aku bergidik ngeri. Takut jika
para gangster itu melihatku dan aku akan dipukuli atau dibagaimanakan. Pikiran
itu tiba-tiba melintas tanpa dikomando. Spontan aku menggeleng-gelengkan
kepalaku.
“Sialan.” Orang itu mengumpat
pelan, lalu menarikku kesudut gelap yang terhalang tembok yang cukup tinggi.
“Eh-eh. Aku mau dibawa
kemana?” tanyaku dengan keras, mau diapakan aku? Tolong!
“Shhht, jangan berisik.
Atau kau akan dipukuli bersamaku hingga mati ditempat ini.”
Apa di baru saja
mengancamku?
Aku langsung membisu,
teriakan itu kembali menggema tanpa sadar aku mencengkram lengan laki-laki yang
tak kukenali itu.
“Hei Ebid, jangan kau
jadi pengecut. Keluarlah! Jika kau akan keluar dari geng. Kau harus mati dulu!”
Berkali-kali lontaran
itu menggema, aku hanya diam dengan tidak menarik nafas. Takut? Ya memang aku
takut. Siapa yang tidak takut jika dirinya terbunuh. Tempat ini menjadi hening
dan sunyi. Aku bisa berafas dengan tenang sekarang. Ketika kutengok laki-laki
ini, aku langsung merasa kasihan. Dia menyeka sudut bibirnya dengan keras
membuatnya meringis menahan sakit yang dia timbulkan sendiri.
“Mereka sudah pergi?”
tanyaku sambil melepaskan cegkraman tanganku di lengannya. Dia hanya
mengangguk.
“Kau bisa pulang
sekarang.” Ucapnya dengan tenang.
“Lalu, bagaimana dengan
dirimu? Kau bisa berjalan?” aku menatapnya, tak yakin apa dia bisa berjalan.
“Aku bisa, pulanglah
dengan cepat. Tempat ini tak aman untuk orang sepertimu.” Dia pergi
meninggalkanku. Jalannya tertatih, aku tidak tega melihatnya.
Bagaimana jika gangster
itu datang dan memukulinya hingga mati? Kumohon jangan sampai. Jadi, kuputuskan
untuk menguntitnya dari belakang.
ↄↄↄ
Dia pergi kedaerah yang
belum kukenali, dan dia berjalan dengan memegangi perut bagian kanannya.
Dihadapan laki-laki itu ada sebuah tangga, dia dengan pelan menaiki satu demi
satu anak tangga tersebut hingga dia terjatuh. Sontak aku langsung berlari
mendekati dia.
“Kenapa kau kemari? Kau
habis menguntitku?” tanyanya dengan nada mencemooh. Aku merangkulnya berdiri
dan pelan-pelan berjalan menaiki anak tangga satu demi satu.
“Ya… aku sangat tidak
tenang dengan kondisi memprihatinkanmu ini.” ucapku masih fokus dengan
merangkulnya. “Rumahmu sebelah mana?” tanyaku ketika sudah selesai menaiki
tangga itu.
Dia memberi tahu-ku
arah rumahnya. Ketika sampai, aku membukakan pintu dan membawanya ketempat
tidurnya. Dia sangat menyedihkan. Ketika aku melihat kotak P3-nya kotak itu
hanya berisi betadine dan kapas membuatku mengerutkan kening. Apa dia tinggal
dirumah ini sendirian? Jadi aku mebawakannya sebaskom air es dan handuk kecil
yang kutemukan dekat kotak P3-nya.
“Kau mau apa?” tanyanya
sambil menatapku.
“Aku hanya ingin
merawat lukamu. Sini, kau sangat menyedihkan sekali.”
ↄↄↄ
“Namaku Keyna. Kenapa
sih kau sampai dipukuli seperti itu? Kau masuk di jaringan narkoba ya?” aku
menjawab ketika ia habis berterima kasih dan bertanya siapa namaku.
“Enak saja. Kenapa kau
menuduhku ikut jaringan narkoba. Kenal saja tidak.” Ucapnya sambil lalu.
Membuatku mengerucutkan bibirku kedepan.
“Aku tahu, namamu Ebid
kan. Dan tadi kau ingin keluar dari gangster?” tanyaku sambil melihat-lihat
sekeliling kamar tidurnya. Dia masih terbaring dan aku baru saja selesai
mengobati lukanya. Jadi, aku duduk di sofa yang ada dikamar itu.
“Ya namaku Ebid. Kau
tahu Geng yang paling terkenal di kota ini yang suka merusak fasilitas publik
tanpa segan untuk memukuli seseorang hingga sekarat?” Orang yang bernama Ebid
itu bercerita tapi aku langsung tahu yang dimaksud Ebid tentang geng itu. Yang
baru saja muncul di berita nasional karena memukuli beberapa orang dari
kelompok geng lain hingga sekarat.
“Oh ya. Aku tahu. Kau
mau keluar dari geng itu? Kenapa?” aku ingin tahu. Ya memang sifatku seperti
itu.
“Aku sudah muak dengan
perilaku teman-temanku itu. Mereka sudah tidak sejalan lagi denganku.
Sesederhana itu aku ingin keluar. Tapi jika sudah masuk ke geng itu dan ketika
kau ingin keluar, kau harus mati dulu. Itu paraturannya, sedari dulu.” Ebid
menjelaskan.
Aku hanya bisa begidik
ngeri. Beratapa bobroknya mental para anak muda jaman sekarang. Mereka sama
sekali tidak merasa kasihan dengan nyawa, apa mereka tidak punya hati? Kenapa mereka
harus kehilangan nyawanya?
“Tindakanmu benar jika
kau ingin keluar dari geng itu.” Ucapku tanpa berpikir, memang benar kan?
“Ya, tapi sekarang
nyawaku jadi taruhannya.” Ucap Ebid dengan tertawa sumbang, dia tersenyum
menatapku. “Kau tahu, nyawamu dalam bahaya jika kau didekatku sekarang.”
Brakk.
Terdegar suara seperti
pintu didobrak. Ebid langsung bangkit dari posisi tidurnya. Apa maksud
perkataan Ebid tadi? Nyawaku dalam bahaya? Apakah ini yang dimaksud Ebid?
Gangster itu berada dirumahnya sekarang. Apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Ayo lewat sini.” Ebid
membawaku keluar dari pintu belakang rumahnya. Disekeliling rumahnya banyak
anggota gangster. Ebid menyeretku pergi sejauh mungkin dari rumahnya. Aku
melihat seseorang anggota geng menatapku dengan tatapan membenci, aku hanya
bisa tertunduk dan terus berlari mengikuti Ebid.
“Kuharap tak ada
satupun dari orang itu melihat kita. Oh ya rumahmu dimana?” Tanyanya setelah
berhenti berlari, aku menunjukkan arah rumahku.
Ebid mengatarku sampai
depan rumah, dia langsung pergi sambil mengenakan topi jaketnya dan menghilang
ditengah gelapnya malam. Dia tidak berucap apa-apa, membuatku bertanya-tanya
dia akan kemana lagi setelah rumahnya didobrak oleh kawanan gangster itu.
Sudah hampir jam dua
malam dan sekitar satu jam yang lalu Ebid mengantarku pulang, tetapi pikiranku
masih saja tertuju pada Ebid. Bagaimana nasibnya? Aku takut dia kembali untuk
menjadi anggota geng itu.
Terdengar suara ketukan
pintu, apakah itu Ebid? Sepertinya iya. Siapa lagi yang berani mengetuk pintu
rumahku ditengah malam seperti ini? aku bangkit dan berjalan untuk membukakan
pintu.
Aku mematung didepan
pintu, segerombolan anak muda berjumlah lima orang ada didepan pintu rumahku
sekarang. Mereka bertampang lebam, aku langsung diseret keluar dari rumahku.
Mulut dan hidungku ditutupi oleh tisu, ketika aku memberontak, tubuhku menjadi
lemas dan semua menjadi gelap dalam sekejap mata.
ↄↄↄ
Deruan motor menyeretku
dari kegelapan,ketika aku membuka mata. Aku dibaringkan ditengah-tengah
segerombolan anak-anak muda yang sangat menyeramkan. Setiap orang dari mereka
membawa tongkat pemukul dan tongkat kayu. Untuk apa?
Ada yang mendekatiku,
aku spontan menutup mataku kembali seperti orang pinsan. Dia menggengam
tanganku, aku masih tetap diam. Tapi saat ia menyentakkan tanganku keatas aku
membuka mata lebar karena itu sangat menyakitkan bagiku.
“Ternyata kau sudah
bangun, gadis kecil?” ucap pria itu dengan menyunggingkan senyumnya. Aku hanya
dapat menundukkan kepalaku, aku terlalu takut untuk melihat sekeliling.
“Pangeranmu itu akan
segera datang menjemputmu. Jika dia menjemputmu disini, nyawaya akan mati juga.
Hahaha.” Pria bertopeng disebelahku tertawa lebar diikuti oleh anak buahnya.
Tunggu, Pangeran?
Nyawa? Hilang? Apakah yang dimaksud dia Ebid? Jangan biarkan dia kesini, Tuhan.
Kumohon.
Tak lama kemudian Ebid
datang seorang diri, aku memberontak ketika melihatnya. Tapi cengkraman
ditanganku juga menjadi sangat kuat hingga aku ingin menangis karena sangat
sakit. Tanpa aba-aba lima orang anak buah geng itu langsung menyerang Ebid,
tapi Ebid menghalaunya dengan cepat sehingga tiga anak jatuh tersungkur
dilantai yang kotor.
“Lepaskan Keyna..! dia
tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini.” Ebid berteriak ketika dua orang lagi
jatuh ke lantai.
Pria bertopeng
disebelahku hanya tertawa pelan, “Akan kulepaskan dia, setelah kau mati
ditempat ini.”
Aku begidik ngeri.
Melihat enam orang lagi mendekati Ebid membuatku was-was. Tapi masih saja pria
itu dapat menahan serangan dari anggota gangster ini. Ebid mendekatiku,
seketika itulah segerombolan pria datang. Tunggu, sepertinya aku mengenal salah
satu dari mereka.
Findo, Ya Tuhan anak
ini, mengapa dia harus ikut? Ketika mereka mendekat, mereka langsung saja menyebar
dan memukuli anggota gangster. Aku terpaku pada Ebid, dia mendekatiku dan ingin
memukul pria bertopeng disebelahku.
Tapi tanpa diduga,
salah satu anggota gangster itu memukul leher bagian belakang Ebid menggunakan
tongkat bisbol. Aku menjerit keras, melihat Ebid langsung jatuh di lantai.
Cengkraman pria bertopeng itu langsung lepas di lenganku, membuat aku langsung
duduk dihadapan Ebid dan menopang kepalanya di pahaku.
“Tidaak! Kumohon
sadarlah. Bangun!” Ucapku berulang kali seperti mantera penyelamat. Namun pria
itu tetap saja diam.
“Ayo, Keyna. Kita harus
pergi.” Findo datang kepadaku dengan cepat. Dia langsung mengambil dan
menggengam tanganku yang penuh darah Ebid.
“Lalu, Bagaimana dengan
Ebid? Dia bisa mati disini.” Ucapku dengan masih menangis.
“Yang terpenting kau
harus keluar dari tempat ini dulu Keyna. Ebid akan dibantu oleh teman-temanku
dengan segera. Ayo, keluar dari tempat ini!” Findo menyeretku dari tempat itu,
aku ingin memberontak. Tapi apa daya aku sudah tidak mempunyai tenaga lagi
untuk melawan.
ↄↄↄ
Aku bisa saja berdiri ditempat ini lebih lama, atau paling tidak membawa
Iqbaal keluar bersamaku. Tapi apa daya Aldi membawaku lari bersamanya,
menjauh dari tempat itu sejauh yang kita bisa, atau bisa jadi aku dan
Aldi akan mati ditempat itu. Aku tidak tahu apakah Iqbaal masih bisa
selamat atau dia mati dengan mengenaskan ditempat kotor berdebu itu.
TAMAT
Wehehe Gaje? maafin ya..
Oia kalo mau kenal dekat bisa
Add FB : Eka Putri
Follow Twitter : @Ekapm_12
Email : ekaputri1204@gmail.com